Melati datang ke JMC bersama seorang temannya. Perutnya tampak mengandung. Hal itu ditutupi dengan jaket kuning.
Dengan wajah terus menunduk, Melati menceritakan ihwal peristiwa kelam yang dialaminya. Awal 2008, Melati kenal seorang pemuda. Ia adalah Wsu,18, siswa SMA Negeri di Kecamatan Jombang. Rumahnya di Desa Puton Kecamatan Diwek. Perkenalan tersebut berujung jalinan kasih.
Kian bertambah hari, dua sejoli itu kian lekat. Wsu sering bertandang ke rumah siswi SMA Negeri di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri itu. Melati sendiri tinggal bersama pamannya yang seorang peternak. Maklum, biduk rumah tangga orang tuanya telah karam. Sang ibunda bekerja di Negeri Jiran. Sang ayah, tak pernah lagi berhubungan dengannya.
Minimnya perhatian, membuatnya terjerumus ke pergaulan bebas. Hubungan dengan Wsu kian lebih dari pacar. Di kala rumah sepi, Melati diajak Wsu beradu peluh. Tak hanya di rumah Melati, Wsu pernah juga melakukan hubungan suami istri dengan Melati di rumahnya sendiri.
Benih yang disemai Wsu akhirnya berbuah kehamilan. Seakan petir menyambar, sang bibi terkejut ketika tahu keponakannya berbadan dua. "Saya ngaku setelah didesak," tutur perempuan berbintang Virgo ini. Setelah diperiksa dokter, Januari lalu, katanya, kandungannya berusia lima bulan. Berarti sejak September ia tak lagi alami siklus kewanitaanya.
Tak terima, keluarga Melati datangi pihak Wsu. "Bibi saya minta tanggung jawab ke Wsu," kata Melati. Namun, bukan sikap jantan yang ditunjukkan Wsu. "Dia malah saya suruh aborsi," keluhnya. Bahkan, keluarga Wsu juga bersikap sama. Mereka, tutur Melati, sampai lakukan tekanan psikologis ke keluarganya.
Kemarin, Melati mendapat pendampingan dari aktivis Women Crisis Center. "Besok (hari ini), kami akan melaporkan ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jombang," ujar Solahudin, Pjs Ketua WCC. Dengan begitu, Solahudin berharap kepada keluarga Wsu agar bertanggungjawab secara hukum.
http://jawapos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=154548
Tidak ada komentar:
Posting Komentar